Berita di Japan Times tanggal 7 Maret 2018 tentang seorang trainee Vietnam di Jepang cukup menyedihkan. Di situ diceritakan bahwa ia, tanpa sepengetahuannya dipekerjakan di situs yang terkontaminasi radiasi nuklir di Fukushima.
Ia sendiri tidak tahu tempat itu adalah tempat berbahaya dan di dalam kontraknya tidak tertulis pekerjaan seperti itu. Perusahaan yang mengirimnya menolak dituduh melanggar aturan ketenagakerjaan dan kasus ini masih diadvokasi agar si trainee mendapatkan kompensasi dari perusahaan tersebut untuk resiko terekspos radiasi tinggi.
Jepang sendiri memang sangat kekurangan tenaga kerja kasar, dan mendatangkan tenaga migran dari negara lain adalah satu-satunya cara cepat untuk mengisi kekosongan tenaga, selain itu masih termasuk murah daripada menggaji orang Jepang sendiri untuk pekerjaan yang berbahya.
Oleh karena itu, tawaran pergi magang/ training ke luar negeri harus dipertimbangkan baik-baik. Kita tidak tahu ada berapa kasus seperti si trainee Vietnam ini pada kenyataannya yang tidak terekspos media karena pemagang yang takut atau tidak mengetahu hak-haknya.
Berita ini mengajak kita untuk lebih selektif dan berhati-hati dengan tawaran ‘training’ ke Jepang, meskipun di bawah TITP (Technical Intern Training Program) yang resmi dari pemerintah Jepang sekalipun, seperti halnya perusahaan yang menaungi si trainee Vietnam ini, yang resmi terdaftar dalam program TITP.
Kenyataan yang jamak terjadi dan juga menjadi perhatian banyak pihak, adalah program ‘trainee’ ini sering (jika tidak bisa dibilang selalu) digunakan oleh perusahaan sbagai judul dan eufemisme dari‘unskilled labor’ dan pekerja di sektor 3D (dirty, dangerous, demeaning/demanding).
Padahal banyak pemagang yang membayangkan ‘training’ layaknya transfer teknologi yang selain bisa mencicipi bekerja di Jepang, nantinya bisa mendapatkan skill yang bermanfaat saat kembali ke negara asal.
Namun Taro Kono, politisi senior partai liberat (LDP) pernah menegaskan, “Bohong itu! Pemagangan ke Jepang oleh tenaga asing, termasuk dari Indonesia, tidak benar kalau memiliki nilai tambah, apalagi transfer teknologi.
Kenyataan mereka hanya pekerja keras biasa saja, angkat barang, cabutin rumput dan semua pekerjaan siapa saja bisa melakukannya,” seperti ditulis koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo (3/6/2015).
Banyak perusahaan Jepang juga yang sayangnya nakal, memanfaatkan tenaga-tenaga asing yang murah dan belum mengerti kondisi di tempat baru ini dengan menempatkan mereka di area berbahaya.
Pekerjaan semacam ini apabila dikerjakan oleh orang Jepang bayarannya 3x lipat daripada bila dikerjakan oleh tenaga trainee, seperti yang dilansir oleh Japan Times.
Jadi jika ingin berangkat ke Jepang sebagai trainee (kenshusei), sebaiknya mengonfirmasi dengan jelas apa yang akan dikerjakan di Jepang dan berhati-hati agar tidak terlanjur keluar uang banyak, namun tidak sesuai harapan.
Jangan juga mudah tergiur dengan rumput hijau yang ternyata rumput palsu, karena banyak juga cerita tentang broker yang menjerumuskan calon-calon trainee ke Jepang dengan iming-iming selangit. Memang tidak semua program training itu bohong dan fishy, namun lebih baik untuk berhati-hati lagi dalam menerima tawaran semacam ini.
Jika memang motivasi utama adalah mengumpulkan uang/ modal, mencari pengalaman dan tidak keberatan dengan pekerjaan kasar dan kondisi tempat tinggal yang kadang kurang layak, pilihan dikembalikan pada individu masing-masing.
Sementara itu yang sudah dan sedang bekerja di Jepang namun ternyata diperlakukan tidak layak, dieksploitasi (seperti halnya trainee asal Vietnam ini) atau hal-hal lain membahayakan yang tidak sesuai dengan perjanjian tertulis, kita punya hak untuk protes atau menuntut, sesuai dengan undang-undang yang berlaku… dan meminta perlindungan pada negara lewat KBRI.
source: Japantimes, tribun