Home Budaya INDONESIA Babi di Tanah Papua Adalah Hewan Keramat & Sakral, Kenapa ?

Babi di Tanah Papua Adalah Hewan Keramat & Sakral, Kenapa ?

885
0

Sebelum adanya modernisasi, masyarakat adat Papua sangatlah bergantung dengan alam. Bahkan, sebelum masuknya misionaris ke tanah Papua (1855), banyak suku adat di Papua yang percaya bahwa alam adalah tuhan yang memberikan mereka kehidupan—sandang, pangan hingga papan.

Hewan ternak merupakan salah satu hal yang paling di-“sakralkan” bagi masyarakat adat Papua. Khususnya bagi masyarakat adat yang menempati daerah pegunungan atau biasa disebut orang gunung (highland peoples), hewan ternak merupakan salah satu mata pencaharian utama mereka selain membudidaya ubi jalar.

Babi merupakan hewan sakral yang memiliki penentu status ekonomi dan prestasi tinggi. Babi biasanya dipakai sebagai mas kawin dan pembayaran denda-denda karena sebab-sebab perang. Maka dari itu, babi dianggap sebagai sesuatu yang sangat bernilai, yang dapat melambangkan status ekonomi sosial bagi masyarakat adat Papua.

Suku Dani, sebagai salah satu suku yang menempati daerah pegunungan, tidak selalu memakan daging babi. Babi hanya dipotong dan dimasak jika ada suatu peristiwa penting; perkawinan, kedukaan atau membayar ganti-rugi perang.

Semakin banyak babi yang dipelihara maka semakin tinggi status ekonomi sosial pemiliknya. Peningkatan status ini berguna untuk melakukan pengaruh-pengaruh politik ke masyarakat lainnya pada satu suku. Ibaratnya: semakin banyak babi semakin kaya, semakin kaya maka semakin dihormati, jika dihormati maka dapat meningkatkan pengaruh terhadap masyarakat sekitar.

Sebagai sesuatu yang dianggap bernilai dan sakral layaknya harta, tak elak jika ada seseorang yang tanpa sengaja membunuh/mencuri babi tersebut akan dikenakan denda yang sangat besar bahkan bisa sampai dihakimi langsung oleh masyarakat setempat.

Faktanya, budaya ini masih dibawa hingga ke zaman modern seperti sekarang dan masih ada pula masyarakat yang tinggal di pinggiran kota yang masih beternak babi.

Ironisnya, babi-babi yang diternak kadang dilepaskan dan berkeliaran hingga ke jalan raya. Jika ada pengemudi kendaraan yang tidak sengaja menabrak babi, maka pengemudi tersebut harus ganti rugi. Perhitungan ganti ruginya pun dapat disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin si babi.

Jika babinya jantan, maka biaya ganti rugi bisa ditentukan lewat umur babi. Kalau babinya masih berusia muda biasanya biayannya lebih sedangkan jika umurnya sudah tua maka biasanya biayanya lebih murah. Sedangkan, jika babinya betina maka biaya ganti rugi dihitung dari jumlah puting di babi tersebut. Lain halnya lagi jika babinya betina dan sedang mengandung, maka biaya ganti ruginya bisa sangat mahal.

Tidak mau ganti rugi? Jangan cari masalah.

Sebenarnya selain babi, di beberapa tempat saya juga pernah menemukan ada warga sekitar yang meminta ganti rugi terhadap anjingnya yang ditabrak. Bahkan, teman saya pernah bercerita ada warga yang anjingnya ditabrak tapi si penabrak lari lalu si pemilik anjing tersebut malah meminta uang kepada setiap mobil yang lewat di depan jalan rumahnya. Ya, kadang manusia mencari kesempatan di dalam kesempitan.

Tips dari saya, jika berkendara di Papua sekiranya harus sangat berhati-hati, apalagi jika sedang melewati perkampungan di pinggiran kota. Kalau di Jayapura, wilayah yang rawan dengan masalah “ganti-rugi hewan” itu ada di daerah Kampung Nafri, Distrik Abepura. Di situ sudah banyak kejadian hewan miliki warga yang ditabrak dan pemiliknya meminta ganti rugi dengan jumlah yang besar.

Sekian jawaban saya. Salam dari Papua!

source: science direct, Jericho Siahaya