Populasi manusia didunia membutuhkan setidaknya 7 planet seukuran bumi untuk lahan pertanian dan peternakan jika pola makannya dengan menu seperti negara maju di Eropa dan Arab Saudi, menurut laporan penelitian makanan dari organisasi EAT, organisasi nirlaba yang berbasis di Norwegia. Dalam laporannya EAT fokus pada pedoman diet nasional, menu makanan harian dan tingkat konsumsi negara-negara Kelompok 20 (G20).

Di antara semua kelompok negara G20, atau 20 negara paling maju di dunia, hanya India dan Indonesia yang menjalankan diet makanan rendah emisi karbon untuk memenuhi target iklim Paris, menurut sebuah laporan yang diterbitkan Kamis. Argentina, Brasil, Kanada, Jerman dan Amerika Serikat adalah di antara negara-negara yang secara berlebihan melampaui tingkat emisi karbon terkait pangan yang berkelanjutan, sebagian besar karena tingginya konsumsi daging merah dan produk susu.

“Laporan ini jelas menunjukkan bahwa konsumsi makanan di negara-negara G20 tidak berkelanjutan dan akan membutuhkan hingga 7,4 Bumi jika diadopsi secara global,” kata Joao Campari dari World Wildlife Fund.

Negara-negara kaya mengonsumsi lebih banyak daging merah dan susu daripada yang tercantum dalam pedoman nutrisi negara mereka dan jauh lebih banyak daripada yang para ahli katakan berkelanjutan untuk planet ini.

Laporan Diet untuk Masa Depan yang Lebih Baik, yang diterbitkan oleh organisasi nirlaba EAT yang berbasis di Norwegia, berfokus pada pedoman diet nasional dan tingkat konsumsi negara-negara Kelompok 20 (G20). Grup ini terdiri dari 19 negara terkuat dan terbesar di dunia plus Uni Eropa.

FORTUNER.ID MAKAN KFC
FORTUNER.ID MAKAN KFC

Visi untuk meningkatkan ketahanan pangan
“Laporan ini menunjukkan sistem pangan memiliki jalan panjang dalam memberikan diet yang mencapai kesehatan dan kesejahteraan dalam batas-batas planet.

Kabar baiknya adalah bahwa ada unsur pemerintah, bisnis dan warga negara biasa pun dapat mewujudkan hal ini, membangun pada tindakan yang ada untuk membawa win-win untuk semua, “kata Profesor Corinna Hawkes, direktur Pusat Kebijakan Pangan Universitas London.

Daging merah dan susu harus disalahkan

Sekitar 40% emisi karbon dari produksi pangan global berasal dari peternakan dan limbah makanan, dengan sisanya dihasilkan terutama oleh produksi beras, penggunaan pupuk, konversi lahan dan deforestasi untuk mengakomodasi tanaman komersial.

Dengan demikian, daging merah dan produk susu adalah beberapa makanan yang paling tidak berkelanjutan dan paling dikonsumsi di negara-negara G20.

Laporan itu juga mengidentifikasi bahwa banyak negara bahkan memiliki pedoman diet nasional daging merah dan susu yang melebihi pedoman Diet Kesehatan Planet. Jerman, misalnya, merekomendasikan 50 gram daging merah sehari; rata-rata konsumsi sebenarnya hampir 110 gram. Pedoman global merekomendasikan maksimal 28 gram.

Makanan umbi-umbian dan sayuran khas papua juga dianggap sebagai makanan yang sangat rendah polusi udara

Argentina dan Amerika Serikat adalah di antara konsumen pangan yang paling tidak berkelanjutan di G20.

Sementara itu, hampir semua negara maju justru kekurangan konsumsi protein maupun nutrisi olahan dari makanan berbahan kacang-kacangan dan biji-bijian. Namun, kacang-kacangan sangat populer di negara India dan Indonesia.

“Pedoman diet nasional agar lebih bervariasi ini dapat digunakan oleh pemerintah negara maju untuk mendorong transformasi yang sangat dibutuhkan menuju pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan, dan, pada akhirnya, sistem pangan yang lebih tangguh,” kata Loken.

Pedoman di sebagian besar negara-negara G20 juga menentukan produksi dan regulasi pangan, menjadikannya penting untuk membatasi emisi polusi karbon dan pemborosan lahan.

Tempe atau tempe adalah produk kedelai tradisional Indonesia, yang dibuat dari kedelai yang difermentasi. Ini dibuat oleh proses fermentasi yang dikultur dan dikontrol secara alami yang mengikat kedelai menjadi bentuk kue. Olahan tempe asal Indonesia akan laris manis di Amerika Serikat saat pandemi corona. Pasalnya, penjualan daging alternatif di negara Adidaya tersebut meningkat 53 persen pada periode April-Mei 2020.
Tempe atau tempe adalah produk kedelai tradisional Indonesia, yang dibuat dari kedelai yang difermentasi. Ini dibuat oleh proses fermentasi yang dikultur dan dikontrol secara alami yang mengikat kedelai menjadi bentuk kue.
Olahan tempe asal Indonesia akan laris manis di Amerika Serikat saat pandemi corona. Pasalnya, penjualan daging alternatif di negara Adidaya tersebut meningkat 53 persen pada periode April-Mei 2020.

Produksi pangan berkelanjutan dapat mencegah pandemi

Tanaman kacang-kacangan dikenal cepat bertumbuh dan dipanen. Selain itu makanan ini juga tidak terlalu sulit untuk diragamkan pengolahannya.

Dalam kesepakatan iklim Paris bertujuan untuk mengurangi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius. Emisi “cetak makanan” yang diproduksi oleh negara-negara G20, yang menyumbang sekitar 64% dari populasi dunia, saat ini menciptakan 75% dari total emisi terkait pangan global.

Masalah makanan yang terbuang sangat penting untuk ditangani terutama di antara negara-negara terkaya di dunia, kata penulis utama laporan itu, Brent Loken, yang menambahkan bahwa negara-negara kaya saat ini terlalu banyak memboros dan membuang makanan.

“Pandemi saat ini menunjukkan betapa rusaknya sistem pangan kita,” tambahnya.

Dalam penelitian tersebut, EAT meneliti menu makanan dan pola makan dari masyarakat di 19 negara terkuat dan terbesar di dunia plus Uni Eropa. Setidaknya tujuh planet akan diperlukan bagi dunia untuk mempertahankan tingkat makanan yang dikonsumsi oleh negara-negara G20.

Jerman dan AS termasuk yang terburuk karena tingkat konsumsi daging dan makanan olahan yang sangat tinggi. Penghematan konsumsi dapat mencegah bencana kelaparana di masa depan.


Sumber: DW