Tidak ada gunanya dipertahankan karena apa untungnya hidup dalam kepura-puraan, kalau si suami ternyata menyukai sesama jenis dan bukan menyukai saya? Saya percaya bahwa pria gay mampu mencintai seorang perempuan, tetapi dia tidak tertarik secara seksual dengan perempuan. Sebagai perempuan, apakah saya mau bila suami saya tidak tertarik secara seksual kepada saya?

Selama kita berdua masih manusia, tidak mungkin tidak ada yang namanya nafsu seksual. Mau cinta atau pun setia, let’s be real, urusan seks itu beda lagi. Coba dipikirkan baik-baik. Bila si suami yang gay terangsang dan ingin berhubungan seks, dengan siapa sebaiknya ia berhubungan seks? Dengan saya? Ya tidak mungkin lah. Karena ia tertarik secara seksual dengan laki-laki. Saya bukan laki-laki, dan tidak mungkin saya bertingkah laku atau berdandan seperti laki-laki saat berhubungan seks dengan dia.

Sekarang bila situasi dibalik, saya sebagai perempuan heteroseksual juga memiliki nafsu seksual dan ingin berhubungan seks dengan laki-laki. Dengan siapa sebaiknya saya berhubungan seks? Dengan sang suami yang gay? Bagaimana mungkin? Apakah saya harus memaksa dia berhubungan seks dengan saya? Kalaupun dipaksa, saya berani jamin, hubungan seks tersebut akan sangat jarang terjadi atau menjadi pengalaman yang sangat tidak memuaskan.

Jadi, bagi saya, bila perempuan tetap tinggal dalam pernikahan dengan suami yang gay, itu namanya delusional dan sangat tidak masuk akal. Perempuan itu berarti sedang menipu dirinya sendiri.

Pada akhirnya, jalan keluar yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan seksual adalah, masing-masing pihak “jajan” ke luar. Si suami berhubungan seks dengan pria manapun yang disukainya, dan si istri mencari pria lain yang heteroseksual. Kalau kondisinya begitu, suami dan istri ini artinya mengingkari sumpah dalam pernikahan. Kalau menikah buat masing-masing jalan sendiri, apa gunanya mensahkan hubungan dalam hukum agama dan hukum negara?

Saya sama sekali tidak sedang merendahkan kaum gay, ya. Saya sendiri memiliki sangat banyak teman gay, makanya saya bisa berbicara vokal tentang hal ini. Meskipun saya sangat menyayangi teman-teman gay saya, tetapi saya tidak akan menikahi teman gay saya demi alasan apapun.

Kalau suami saya ternyata gay, lebih baik saya berpisah dengan dia supaya bisa menjalani hubungan yang serius dan sah dengan pria lain dan dia pun bisa mencari pasangan yang sesuai dengan kebutuhannya. Intinya perpisahan itu untuk kebutuhan masing-masing kok. Saya sangat menghargai institusi yang namanya pernikahan, dan saya pun tidak setujua dengan perceraian. Namun dalam hal ini, menurut saya, lebih baik bercerai. Pernikahan itu tidak sebaiknya dilandasi oleh kepura-puraan dan kebohongan. Itu bibit tidak jujur yang selanjutnya kita akan semaikan ke keturunan kita.

Bagaimana bila sudah memiliki anak? Ya itu kembali kepada masing-masing persona. Saya pribadi memilih anak saya melihat kami berpisah, meski itu akan menyakiti anak, tetapi anak akan belajar bahwa orang dewasa terkadang juga bisa melakukan keputusan yang bodoh, namun lebih baik jujur pada diri sendiri daripada terus hidup dalam kebohongan, kepura-puraan dan penyangkalan (denial). Daripada anak saya besar sambil melihat bahwa kedua orangtuanya tidak saling mencintai, atau berpura-pura saling mencintai dan saling selingkuh. Apa pelajaran yang bisa dia petik dari kondisi seperti itu? Paling dia belajar menjadi delusional juga. Apa kurang delusional bangsa kita ini?