Andaikan saya belum belajar mengenai tenaga medis, saya akan menyembunyikan diri jika dilakukan rapid test. Karena pola pikir saya sekarang medis, maka saya akan mau saat diminta rapid test.

Kenapa banyak orang menolak?

Karena ketika rapid test itu dilakukan, langkah selanjutnya lah yang dipertanyakan.

Memang benar rapid test ini adalah skrining yang murah dan cepat dibandingkan swab, hanya saja hasilnya belum tentu paling standar. Kalau yang paling standar adalah swab tenggorok. Disini rapid test akan menilai antibodi dalam tubuh anda. Anda yang sudah terpapar virus, namun belum terbentuk antibodi yang melawan, maka tentu hasil rapid tes anda akan negatif. Saat sudah ada antibodi terbentuk, baru rapid test anda positif. Artinya saat hasil ini positif, maka anda akan diminta untuk melakukan swab tenggorok.

Berhubung masa pandemik dengan hasil demkian, hasil rapid test anda yang positif kemudian anda batuk dan demam, maka anda sudah masuk dalam kategori Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan menunggu hasil swab. Nah, selama anda PDP ini, anda akan dikarantina.

Disinilah masalahnya.

Tidak semua orang mau dikarantina. Dengan hasil swab yang cukup memakan waktu anggap saja paling cepat 3 hari, dan paling lama adalah 1 minggu (karena banyak yang dites), maka anda akan dikarantina dan tidak boleh keluar. Anda tidak bisa bekerja, tidak bisa bersosialisasi, anda tidak bisa jalan – jalan keluar ataupun nongkrong. Kemudian saat hasil swab tersebut positif, maka anda akan dikarantina selama kurang lebih 14 hari hingga gejala COVID-19 di tubuh anda hilang. Belum juga waktu untuk menunggu evaluasi hasil swab.

Dengan begini, orang takut untuk tidak bisa melakukan aktivitas diluar. Kalau anda laki – laki dan kepala rumah tangga, anda tentu khawatir saat dikarantina.

“Gimana Istriku sudah makan belum ya? Hari ini papa ngga bisa kasih duwit buat beli beras”

“Anakku gimana ya kabarnya. Papanya ngga bisa kerja, lagi dikarantina”

Ketakutan dan kecemasan ini yang membuat orang takut jika hasil rapid test positif. Maka cara terbaiknya adalah menolak atau bersembunyi saat akan dirapid test atau bahkan menulis slogan demikian.

Padahal sebenarnya skrining rapid test sendiri itu dilakukan untuk melakukan tracking virus Corona agar transmisinya bisa segera diputus.

Ada yang lebih parah juga, dimana pada orang yang seharusnya disupport, malah diusir dan dijauhi seakan – akan dia adalah pembawa penyakit. Hal yang dikenal stigma ini tentu membuat seseorang takut jika terjangkit virus Corona. Tidak ada orang yang mau dibicarakan dibelakang secara terus menerus.

Kalau begini, apa yang harus diperbaiki? Edukasi dengan bahasa sesimpel mungkin dan mudah dipahami!

Mana mungkin mau di rapid test kalau yang positif ternyata diberi stigma beraneka rasa.