Hubungan tidak harmonis antara keduanya dilatarbelakangi oleh faktor sejarah. Ya, Jepang pernah menjajah Korea (waktu itu Utara dan Selatan belum bercerai). Periode penjajahan Jepang berlangsung cukup lama, yakni dari 1910 sampai 1945. Walaupun Jepang melakukan perbaikan infrastruktur dan reformasi industri, tetapi apalah arti itu semua kalau rakyatnya menderita. Rakyat merasa tertekan, mereka dieksploitasi untuk kepentingan militer dan kemakmuran Jepang. Jadi menurut saya sah-sah saja Korea Utara dan Korea Selatan membenci negeri Matahari Terbit yang satu ini; karena post-effect yang ditimbulkan akibat penjajahan tidak bisa dianggap sepele.
Tetapi terdapat fakta yang cukup mengejutkan dari Korea Utara. Mereka ingin menormalisasi hubungan dengan Jepang! Kim Il Sung, mantan Supreme Leader pernah mengungkapkan keinginannya untuk menjalin kerjasama dalam bidang sosial dan budaya dengan Jepang. Pernyataannya dimuat dalam surat kabar Asahi Shimbun, 1971.
Dibanding harus berdamai dengan Korea Selatan, lebih baik berdamai dan meminta bantuan Jepang yang juga punya relasi buruk dengan Korea Selatan. Rivalitas yang terjadi antara Selatan dan Utara mencakup hubungan diplomatik, ekonomi, dan militer. Termasuk mengenai pengakuan internasional atas dua negara tersebut, siapa yang paling banyak diakui oleh negara-negara lain. Lagipula, Jepang kan bukan lagi negara imperial. Sudah keok melawan AS pada masa Perang Dunia II. Sekarang gantian; Korea Utara yang membenci AS.
Ditambah lagi, Korea Utara ingin bergantung secara ekonomi dengan Jepang. Korea Utara sempat ngambek dengan Uni Soviet karena mengakui Korea Selatan sebagai negara. Korea Utara ingin mencari muka dengan Jepang karena pada awalnya mereka sangat bergantung dengan Uni Soviet untuk memberi makan warganya.
Sayangnya niat baik Korea Utara bertepuk sebelah tangan. Kenapa?
Oke, ini menjadi poin awal mengapa Jepang tidak mau mengakui Korea Utara. Sebenarnya walaupun Jepang belum mengakui kedaulatan Korea Utara, tetapi hubungan perdagangan bisa dilakukan secara diam-diam loh. Sama polanya seperti Indonesia-Israel. Mereka melakukan perdagangan secara tidak langsung; dikirim melalui Hong Kong atau Dairen.
Investor-investor Jepang awal mulanya tertarik untuk menanam modal disana; karena pangsa pasarnya tinggi. Sampai membuat perjanjian segala! Dan Jepang merupakan partner dagang non-sosialis terbesar bagi Korea Utara. Tetapi lama-kelamaan perdagangannya mengalami defisit. Korea Utara lebih banyak impor ($251.9 juta) dibanding ekspornya ($108.8 juta). Dan mereka mengalami kesulitan untuk membayar hutang pada Jepang. Awalnya Jepang sudah muak dan ingin memutuskan hubungan dagang. Namun Jepang berbaik hati dengan memberi tambahan batas waktu 10 tahun bagi Korea Utara untuk membayar hutang-hutangnya yang membengkak.
Jepang termasuk baik banget loh pada waktu itu. Korea Utara kelaparan, dikirim bantuan pangan sebanyak 500.000 ton beras. 150.000 tonnya gratis lagi! Bernilai ¥2.4 milyar. Sisanya berbentuk soft loans, dibayar dalam bentuk cicilan selama 10 tahun. Tapi pada akhirnya, hutang-hutang tersebut belum dibayar. Sampai sekarang.
Pemerintah Jepang menganggap tindakan Korea Utara tidak sopan. Keduanya tidak menjalin hubungan diplomatik; bukan sahabat hanya kenalan saja. Tetapi kok berani-beraninya tidak membayar hutang yang mencapai ¥8,4 milyar? Korea Utara baru bayar ¥80 juta saja!
Menurut pengakuan dari pihak Korea Utara, semua bantuan dan perdagangan dengan Jepang dimaksimalisasikan untuk program Juche (self-reliance). Oleh karena itu, Kim Il Sung butuh barang-barang berteknologi mutakhir dari Jepang yang tidak dapat diakses di negara-negara Sosialis seperti China dan Uni Soviet.
Lagipula, para pelaku bisnis asal Jepang juga tidak mendapatkan sambutan baik oleh kedutaan Korea Utara. Mereka meresa tertekan dan selalu diawasi. Mereka tidak mendapat sambutan hangat pula dari masyarakat Korea Utara selama berada disana. Disisi lain, para pelaku bisnis yang mulai jengah ini melihat kesempatan dagang yang menggiurkan di Korea Selatan. Ketegangan baru muncul ketika Jepang mengakui Korea Selatan sebagai negara yang berdaulat. Semenjak saat itu, Korea Utara berusaha untuk ‘mengejar-ngejar’ Jepang agar memberikan pengakuan yang serupa atas negaranya.
Waduh saya baru ingat belum menuliskan kesimpulan yang konkrit ya? Hahaha maafin ya!
Pengakuan internasional sangatlah vital bagi keberlangsungan suatu negara.
Contoh saja kasus Indonesia dan Israel. Jika Indonesia belum mengakuinya sebagai negara, kerjasama tidak bisa terjalin. Atau bisa bekerjasama namun ruangnya terbatas. Saya sudah sempat menyinggung ini sebelumnya di jawaban-jawaban lama saya.
Begitu juga dengan Korea Utara. Jika Jepang mengakuinya sebagai negara, maka ia bisa melaksanakan kerjasama dalam konteks yang lebih luas. Atau mulai merajut kerjasama lagi.
Sedangkan dari sudut pandang Jepang, ia tidak mengakui Korea Utara sehingga kerjasama antara keduanya tidak bisa terjalin. Dengan asumsi pengalaman pahit masa lampau ketika bekerjasama dengan Korea Utara dulu; merugikan pihak Jepang. Mana kala itu Jepang sedang melaksanakan perang dagang dengan AS. Harus profit!
Saya hanya menulis dari sudut pandang low politics : ekonomi dan kemungkinan besar ini adalah salah satu alasan krusial dari keengganan Jepang untuk memberikan pengakuan diplomatik atas Korea Utara. Toh pemerintah Jepang juga belum memberikan pernyataan terkait ini.