Home Budaya INDONESIA Mengapa banyak lulusan Sarjana yang menganggur?

Mengapa banyak lulusan Sarjana yang menganggur?

83
0

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia saat ini mencapai 7,01 jiwa. Menariknya, 4,98 persen atau 349 ribu di antaranya merupakan sarjana atau lulusan universitas.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, jika dilihat dari ijazahnya, sarjana merupakan penyumbang terendah dalam jumlah pengangguran di Indonesia. Sementara jumlah pengangguran terbesar merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurut dia, hal ini terjadi karena timpangnya jumlah lulusan SMK dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.

Di Batam, tingginya angka pengangguran memicu meningkatnya angka perceraian. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, jika dilihat dari ijazahnya, sarjana merupakan penyumbang terendah dalam jumlah pengangguran di Indonesia. Sementara jumlah pengangguran terbesar merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurut dia, hal ini terjadi karena timpangnya jumlah lulusan SMK dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.

“Selain SMK-nya diperbaiki, jumlah lapangan kerjanya juga harus tersedia. Industrinya juga harus utamakan terima lulusan SMK,” kata Muhadjir setelah mengunjungi pusat pendidikan vokasi Festo Training Center di Stuttgart, Jerman, Selasa (10/10).

Berdasarkan catatan BPS pada Februari lalu, pengangguran dari lulusan SMK mendominasi dengan jumlah 9,27 persen atau sekitar 649 ribu jiwa.

Untuk perbaikan pembelajaran SMK, kata Menteri, Kemendikbud memperkuat kompetensi guru. Khususnya guru-guru produktif pengampu bidang keahlian di SMK. Setiap guru produktif di SMK wajib bersertifikasi sesuai standar bidang keahlian masing-masing. Selain itu juga memperkuat laboratorium praktik SMK.

Saat ini rata-rata lulusan SMK setiap tahunnya mencapai 1,2 juta anak. “Apakah lowongan kerjanya juga tersedia sebanyak itu? Datanya belum jelas sampai sekarang,” tutur mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.

Sebagus apapun perbaikan pembelajaran di SMK, jika lapangan kerjanya tidak sebanding, pengangguran berijazah SMK tetap tinggi. Dia meminta pemerintah provinsi, selaku pengelola SMK, memetakan lowongan kerja di daerah setempat.

Lalu dibuat perencanaan pembinaan dan pengelolaan SMK. Sehingga bisa dipetakan potensi serapan lulusan SMK setiap tahunnya. Termasuk bidang keahlian apa saja yang tingkat kebutuhan tenaga kerjanya tinggi. “Jadi tidak sekedar membangun SMK baru. Tetapi tidak tahu kebutuhan lapangan kerjanya,” tuturnya.

Kemudian dia juga berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya memaksa dunia industri memprioritaskan lulusan SMK. Sebab menurut Muhadjir, kecenderungan dunia industri di Indonesia belum terlalu membutuhkan tenaga terampil lulusan SMK. Berbeda dengan di Jerman, dimana dunia industrinya begitu membutuhkan tenaga kerja terampil.

Muhadjir berharap perekonomian Indonesia semakin baik sehingga dunia industri terus menggeliat. Kemudian kebutuhan akan tenaga kerja terampil juga terus meningkat. Dia menegaskan perbaikan pembelajaran SMK harus diikuti ketersediaan lapangan kerja.

Pengamat pendidikan Jejen Musah mengatakan, persoalan utama di SMK adalah ketersediaan guru produktifnya rendah. Sampai-sampai Kemendikbud membuka program alih fungsi guru umum menjadi guru produktif. Kemudian juga membuka pintu bagi tenaga kerja trampil untuk menjadi guru produktif SMK. Sebab jika mengandalkan guru produktif reguler yang lulus dari kampus, jumlahnya tidak banyak.

Jejen mengakui keterserapan tenaga kerja lulusan SMK terkait dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sebagus apapun program perbaikan SMK, tidak akan efektif jika lowongan kerjanya sedikit. “Komitmen dunia industri menerima tenaga terampil lulusan SMK juga harus dipegang oleh pemerintah,” pungkasnya. 


Sumber;

batampos.co.id/2017/10/11/349-ribu-sarjana-menganggur/