Singapura memiliki sejarah imigrasi yang panjang. Penduduknya yang beragam berjumlah 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia, dan Kaukasoid. 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Pekerja asing terutama orang Indonesia, Bangladesh dan China membentuk 50% dari sektor jasa. Kebanyakan penduduk Singapura berbicara menggunakan bahasa tidak resmi atau dialek yang dikenal dengan sebutan Singlish. Tapi, mengapa pemerintah di sana lebih ingin menghilangkannya?
Jerlyne Ong, orang Singapura yang saat ini tinggal di Kanada, mengirim pesan kepada seorang temannya di Singapura, “Cannot imagine sia. In Singapore, you strike, you lose your job. But ya, the postal service stopped liao. Cannot agree, buay song, so liddat lor. No postal service for now. Also dunno how long some more. So pek chek.” Begitulah isi pesannya yang kira-kira diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi, “Tak bisa dibayangkan sia. Di Singapura, kita mogok kerja, kita kehilangan pekerjaan kita. Tapi ya, jasa pos berhenti liao. Tak bisa setuju, buay song, seperti itu lor. Tak ada jasa pos sementara ini. Juga tak tahu berapa lama lagi. So pek chek.”
Itu bahasa Inggris atau bukan? Mayoritas dari sebanyak enam juta orang Singapura berbicara dalam bahasa Inggris, tapi mereka tidak setuju juga kalau mereka berbicara dalam bahasa itu, yang mereka setujui adalah mereka berbahasa Singlish. Singlish adalah bahasa tidak resmi (dialekkah? Atau bahasa slangnya Singapura?) yang muncul karena adanya berbagai kultur yang membentuk negara tersebut. Ini adalah sebuah contoh nyata bagaimana bahasa-bahasa dapat berubah dan berkembang. Apakah hal ini merupakan ekspresi dari karakter dan kultur Singapura, sebuah khazanah nasional, ataukah ancaman terhadap bahasa di negara tersebut? Jawabannya tentu tergantung kepada siapa yang Anda tanya.
Sebelum merdeka tahun 1965, Singapura adalah pelabuhan dagang yang beragam dengan PDB per kapita $511, tertinggi ketiga di Asia Timur pada saat itu.
Pada awal Abad ke-20, ada bahasa pidgin atau disebut dengan bahasa Melayu Pasar untuk perdagangan (bahasa yang tidak memiliki penutur asli, berkembang sebagai alat komunikasi antara orang-orang yang tidak berbahasa sama) tapi bahasa tersebut tidak berdasarkan bahasa Inggris atau Cina.
Waktu itu pendidikan tidak untuk umum, hanya keluarga yang lebih mampu yang bisa menyekolahan anak-anaknya di sekolah-sekolah berbahasa Inggris untuk memperbaiki prospek karier mereka. Pada masa-masa inilah ‘benih-benih’ bahasa Singlish ditanam. Bahasa Singlish tidak muncul pertama kali sebagai bahasa pasar. Bahasa ini muncul sebagai versi bahasa Inggris yang telah disesuaikan, digunakan oleh para siswa yang belajar di sekolah berbahasa Inggris yang berbicara dalam bahasa lain di rumah mereka. Jadi, dari awalnya sudah ada penggunaan bahasa Inggris yang ‘kurang benar’, sebuah versi bahasa Inggris yang disadari para murid bahwa bahasa tersebut kurang bagus, tapi berfungsi untuk berkomunikasi dan lebih ada hubungannya dengan kultur mereka.
Negeri “Lah lah” (ditulis ‘Liao’)
Setelah Perang Dunia II, pendidikan gratis untuk semua orang diadakan di Singapura dan mulai pada 1960-an diberikan dalam basis ‘bahasa Inggris plus bahasa ibu’. Jadi, para siswa mengambil mata pelajaran-mata pelajaran dalam bahasa Inggris dan juga salah satu dari tiga mata pelajaran bahasa ibu yang ada di Singapura yaitu Melayu, Tamil, dan Cina (bahasa Cina yang dimaksud di sini adalah bukan Hokkien atau Kanton, melainkan Mandarin yang berguna untuk bisnis).
Sekolah-sekolah tersebut adalah tempat awal mula bahasa Singlish tumbuh dan sekarang tersebar di kehidupan sehari-hari. Populasi penduduk Singapura saat ini adalah lebih dari 75% beretnik Cina, sekitar 15% Melayu, kira-kira 8% beretnik India (terutama Tamil), dan kurang lebih 2% dari etnik lain, tapi sekitar setengah dari seluruh jumlah penduduknya sekarang berbahasa Inggris (atau Singlish) di rumah. Dan Singlish adalah bahasa netral yang digunakan antaranggota suku etnik berbeda. Tidak disangkal bahwa bahasa Singlish adalah pusat ekspresi kultur Singapura yang hidup, penuh dengan kata-kata yang menunjukkan keberagaman kultur orang-orang Singapura. Singlish dilihat oleh banyak orang Singapura sebagai ‘bahasa Inggris buruk’ walau mereka tetap menggunakannya.
Anda tidak bisa mengetahui secara keseluruhan tentang bahasa Singlish dari hanya membaca artikel ini saja. Karena intonasi dan pengucapannya pun terdengar kurang umum. Anne Dellos adalah orang Amerika yang tinggal di Singapura selama 19 tahun. Ibunya mengunjungi dan mendengar Anne berbicara dalam bahasa Singlish, ibunya mengira Anne bisa berbahasa Cina.
Semua suku katanya kira-kira mempunyai panjang dan tekanan yang sama, sehingga terdengar hampir seperti hanya ada nada-nada di sana sini. Beberapa bunyi diubah, dan konsonan pada akhiran kata-kata seringkali dihilangkan atau dikurangi, misalnya “like that” menjadi liddat. Konjugasi dan akhiran dalam bahasa Inggris untuk kata benda jamak seringkali dihilangkan. Ada beberapa kosakata pinjaman, seperti kena yang berarti mendapat suatu hal buruk, kiasu berarti takut kalah, shiok yaitu bagus sekali, sian artinya membosankan, buay song yakni tidak senang, pek chek ungkapan perasaan jengkel atau kesal, dan sia yang digunakan sebagai ungkapan empati.
Bahasa Singlish mungkin terdengar memiliki logat yang kental dengan tata bahasa Inggris yang tidak tepat. Tapi, bahasa tersebut memiliki kejelasan dan tata bahasanya sendiri yang sistematis dengan pengaruh kuat dari bahasa Cina. Susunan kata seringkali lebih berdasarkan pada bahasa Mandarin daripada Inggris. Anne Dellos mengatakan jika dia berbicara dengan sopir, maka dia akan berkata, “Uncle, you go stun ah. Street too small, tun-roun can not.” (Paman, Anda mundur saja. Jalanannya terlalu kecil, tidak bisa putar balik.)
Ada kata-kata yang sering tidak diucapkan kalau bisa diasumsikan, khususnya kata ganti orang. Di sisi lain, juga ada kata-kata yang bisa diulang sebagai penekanan, misalnya, “Can help me do dis?” (Bisa bantu saya lakukan ini?) “Can, can, confirm can.” (Bisa, bisa, pasti bisa.) Bahasa Singlish apabila diucapkan, bisa terdengar seperti sedang terburu-buru, tidak sabar, atau bahkan tidak sopan di telinga orang Inggris. Tapi, seperti yang ditekankan oleh Jerlyne Ong, “Beberapa orang bisa berpendapat bahasa Singlish lebih baik dibandingkan bahasa Inggris, karena lebih efisien.” Jika ada yang mengajak melakukan suatu aktivitas yang Anda tidak mau, bilang saja “Don’t want lah.” (Tak maulah.) Maka, dengan demikian Anda tidak perlu sungkan untuk mengatakan, “Yes, well, we could do that;there are a few other things that might be of interest…” (Ya, mungkin kita bisa melakukannya, tapi ada beberapa aktivitas lain yang mungkin menarik…)
Lah, tentunya adalah kata paling terkenal dalam bahasa Singlish, dan sebuah simbol dari serangkaian kata yang membuat bahasa tersebut berbeda. Rangkaian kata tersebut merupakan partikel pragmatis, seperti padanan verbal dari emoji. Kata-kata tersebut dimasukkan ke akhiran kalimat-kalimat yang kebanyakan diambil dari bahasa-bahasa lain (khususnya dialek Cina), dan harus diucapkan dengan intonasi yang tepat, seperti dalam bahasa Cina. Lor, (dengan intonasi tingkat menengah) mengekspresikan kepasrahan (So liddat lor -It’s just like that, what can you do?– dalam bahasa Indonesia, Ya, begitulah, mau bagaimana lagi?); meh (dengan nada tinggi) mengekspresikan hal yang perlu dikonfirmasikan (Cannot meh -You really can’t?– Anda benar-benar tak bisa?); liao (nadanya menurun-lalu meninggi) mengindikasikan tindakan yang telah terjadi (The postal service stopped liao -Jasa posnya berhenti liao-). Bahkan wut atau yang diucapkan seperti what, ketika diujarkan dengan nada rendah dan cepat pada bagian akhir kalimat mengekspresikan perasaan keberatan (jika Anda diminta untuk membeli sesuatu yang sudah dibeli, Anda bisa bilang Got already wut -Sudah punya wut-). Dan lah? Kata ini bisa diucapkan dengan berbagai intonasi untuk mengekspresikan berbagai hal, beberapa analis linguistik sudah melakukan riset untuk mencari tahu apa maknanya sebenarnya. Jock Wong dari Universitas Nasional Australia di Canberra (ANU) telah melakukan studi yang membeda-bedakan kegunaan kata tersebut sehingga dapat digolongkan menjadi impositional, propositional, dan persuasive.
Bahasa Singlish atau Inggris?
Ini semua mungkin membuat bahasa Singlish terdengar seperti bahasa yang terpadu dan konsisten, akan tetapi tidak demikian halnya. Ada kamus ringan bahasa Singlish -Kamus Coxford Singlish- dibuat oleh situs talkingcock.com (juga ada kamus daring bahasa Singlish), tapi tidak dibakukan, bahkan ejaannya belum disepakati. Bahasa ini digunakan untuk tujuan berbeda pada waktu yang berbeda pula, tergantung pada konteksnya dan siapa yang diajak berbicara. Saat dipahami betul-betul, bahasa yang efektif ini adalah suatu bahasa berbeda yang menggunakan banyak kata bahasa Inggris. Bahasa ini dekat dengan bahasa Inggris yang baku, hanya perbedaannya pada pengucapannya, penggunaan partikel pragmatis, dan beberapa kata pinjaman.
Dan ini adalah bagian dari permasalahannya, pengguna bahasa Singlish bukannya beralih ke bahasa Inggris baku, tapi malah meninggalkannya. Banyak orang mengkhawatirkan pengguna bahasa Singlish mungkin tidak menyadari bahwa mereka tidak berbicara dalam bahasa Inggris yang bisa dipahami orang lain. Mereka menginginkan sekolah-sekolah melakukan penanaman bahasa Inggris yang ‘baik dan benar’, ironisnya di sekolah-sekolah itulah bahasa Singlish muncul.
Pada 2007, Rani Rubdy dari Institut Pendidikan Nasional Singapura menemukan bahwa meskipun kebanyakan murid SD berbicara dalam bahasa Singlish dalam konteks informal, hampir semuanya sepakat bahwa lebih baik belajar ‘bahasa Inggris yang baik dan benar’. Mereka juga mengatakan mereka selalu menulis dalam ‘bahasa Inggris yang baik dan benar’, tapi kenyataannya kendati mereka tidak menggunakan ungkapan dan partikel pragmatis dalam bahasa Singlish, banyak dari mereka menghilangkan akhiran konjugasi, penanda kata benda jamak, dan preposisi. Seperti murid-murid SD lainnya, kelihatannya mereka sedikit lebih menghargai ‘bahasa Inggris yang baik dan benar’ daripada menggunakannya. Tapi di Singapura, bahasa Singlish ini tidak baik karena buruk untuk bisnis dan citra negara, kata mereka.
Meskipun begitu, orang-orang Singapura memiliki hubungan kuat dengan bahasa Singlish. Salah satu acara komedi TV di Singapura pada 1990-an dan 2000-an terkenal luas karena pemeran utamanya, Phua Chu Kang
Pemerintah Singapura tidak menyukai hal ini. Pada 1999, mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew mengatakan, “Makin sering media membuat bahasa Singlish diterima dalam lingkup sosial dengan memopulerkannya pada acara-acara TV, makin membuat orang-orang percaya mereka bisa bebas menggunakan bahasa Singlish. Hal ini merugikan mereka yang kurang berpendidikan.” Dari pernyataan mantan PM tersebut, pada tahun 2000 pemerintah membentuk program yang dinamakan Pergerakan Berbicara Bahasa Inggris yang Baik dan Benar. Pada awalnya program ini terlihat bertujuan untuk menghapuskan bahasa Singlish. Perdana menteri saat itu, Goh Chok Tong, mengatakan, “Jika mereka (para generasi muda) berbicara dalam bahasa Singlish padahal bisa berbicara dalam bahasa Inggris yang bagus, mereka melakukan tindakan yang merugikan bagi Singapura.” Tapi, sekarang pergerakan tersebut terlihat sedikit melemah. Pada situs webnya, menyatakan, “Pergerakan Berbicara Bahasa Inggris yang Baik dan Benar mengakui keberadaan bahasa Singlish sebagai penanda kultur bagi banyak orang Singapura. Kami bertujuan untuk membantu mereka yang berbicara hanya dalam bahasa Singlish, dan mereka yang berpikir bahasa Singlish adalah bahasa Inggris untuk bisa berbicara dalam bahasa Inggris baku.”
Haruskah bahasa Singlish mati agar Singapura maju? Beberapa orang mengatakan harus mati. Pada 1999, Jaime Ee, dalam sebuah kolom berita pada The Straits Times, menulis, “(Bahasa Singlish) menjadi identitas kita, sesuatu yang kita ciptakan untuk kita sendiri dan memberikan perasaan (kultur) yang mengakar, sekalipun tak ada orang yang memahaminya selain kita. Sayangnya, jika kita menginginkan perekonomian (negara ini) mendunia, kita harus membuang bahasa ini, dan dengan kata lain, membuang sedikit identitas kita.”
Tapi perlukah seperti itu? Atau konflik itu sendiri adalah inti dari kultur Singapura? Empat bahasa nasional yang ada dan satu ketegangan bahasa nasional? Sebagaimana yang ditulis pada tahun 2005 oleh Wendy Bokhorst-Heng dari Institut Pendidikan Nasional, “Ketegangan dan perdebatan tentang bahasa Singlish tidak membutuhkan pemecahan masalah, malahan hal-hal ini menjadi tertanam dalam identitas dan citra negeri Singapura.”
Atau, yang bisa dikutip dari Jerlyne Ong, “Because liddat lor,” atau kira-kira artinya, “Karena seperti itulah.”