Mendengar kata doujin kemungkinan besar akan mengingatkanmu kepada karya-karya manga dewasa yang pastinya sering kamu baca, seperti di situs berinisial N misalnya. Namun pada kenyataannya, doujin tidaklah sebatas medium pemuas nafsu seksual dalam bentuk manga saja, tetapi juga menjadi suatu subkultur penyalur kreativitas independen yang cukup berkembang, terutama di Jepang.

Mudahnya, doujin bisa dianggap sebagai karya-karya indie sama seperti di Indonesia ataupun negara-negara lainnya. Karya-karya tersebut meliputi musik, video game, kesenian, novel serta manga, dan biasanya dirilis secara independen tanpa bantuan penerbit. Pada kesempatan kali ini penulis ingin sedikit menjelaskan spesifik untuk karya indie manga atau doujinshi saja.

Secara etimologis, doujin (同人) memilik artian sekelompok orang yang mempunyai ketertarikan yang sama. Kemudian shi () merupakan kependekkan dari zasshi (雑誌) yang berarti majalah. Jika digabungkan, doujinshi (同人誌) diartikan sebagai majalah rilisan sendiri yang ditujukan kepada kelompok tertentu.

Sebagai contoh, misalnya kamu menginginkan adegan pertempuran antara Naruto dan Luffy. Hal tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi secara canon atau resmi, karena sang kreatornya saja sudah berbeda. Namun ada orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganmu, kemudian membuat adegan tersebut dalam bentuk manga dan merilisnya untuk beberapa kalangan saja. Maka karya tersebut merupakanlah sebuah doujinshi.

Contoh yang penulis kemukakan sebelumnya merupakan doujinshi kategori parodi. Kamu yang gemar menjelajahi situs N dan menemukan karya dengan karakter-karakter yang tidak asing dari suatu manga atau anime sedang melakukan adegan seksual yang tidak pernah terjadi di source material aslinya, maka karya tersebut juga merupakan bagian dari doujinshi parodi.

Kemudian yang saat ini lebih banyak diminati adalah doujinshi original. Seperti yang bisa kamu bayangkan, karya-karya tersebut dibuat bukan berdasarkan manga atau anime yang sudah ada, namun benar-benar buatan sendiri. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menyelami industri manga, namun memulainya dari skala yang kecil untuk mengetahui apakah orang-orang akan tertarik akan karyanya atau tidak. Namun tidak sedikit juga yang melakukannya sebagai hobi sampingan dan untuk mendapatkan uang jajan tambahan, atau sekadar just for fun.

Kamu mungkin bertanya-tanya, apakah berbagai doujinshi parodi tersebut legal jika dijual, mengingat banyak material-material di dalamnya memiliki hak cipta. Sebagai contoh, di Amerika, membuat komik parodi antara Spider-Man yang gelut dengan Batman mungkin sah-sah saja jika dirilis secara non-komersil lewat website-website fanfiction. Namun jika sang kreator memutuskan untuk menjualnya, maka siap-siap saja menerima surat ‘cinta’ dari Marvel ataupun DC selaku penerbit.

Di Jepang, hal tersebut bisa dikatakan berada di area abu-abu. Jepang juga tentunya memiliki undang-undang hak cipta, namun sangat jarang para pemilik IP (intellectual property) mengirimkan surat ‘cinta’ atau pengacara untuk menghentikan aktivitas yang dilakukan oleh pembuat doujinshi parodi terkait. Tofugu memberikan beberapa alasan yang cukup menarik mengapa para pemilik IP terkesan santai saja ketika materialnya digunakan untuk doujinshi.

Kamu mungkin pernah mendengar Comiket, pagelaran doujin terbesar di Jepang yang dikabarkan didatangi lebih dari 600.000 pengunjung tiap tahunnya. Hal ini cukup membuktikan bahwa peminat karya-karya doujin sendiri sangatlah banyak bahkan sering dianggap hardcore. Demi menjaga reputasi dan relasi dengan para fans, sang kreator asli ataupun penerbit nampaknya lebih memilih untuk tidak membawa kreator doujinshi terkait ke jalur hukum. Dan secara tidak langsung, doujinshi parodi juga mengiklankan material aslinya secara cuma-cuma.

Hal ini juga dipercaya bahwa dengan tidak terlalu menekankan hak cipta kepada para kreator doujinshi, maka akan bermunculan berbagai kreator maupun karya-karya yang berkualitas di masa yang akan datang. Beberapa penerbit bahkan sering membuka booth di berbagai konvensi untuk mencari kreator-kreator baru.

Berbagai Kreator doujinshi juga justru dikabarkan hanya mendapatkan profit yang sedikit. Perdana Mentri Jepang, Shinzo Abe bahkan menyatakan bahwa doujinshi harus diperlakukan layaknya parodi dan bukan bajakan. Lebih lanjut beliau berargumen bahwa doujinshi tidak menghasilkan begitu banyak profit dan tidak merusak IP.

Menurut survei yang dilakukan kepada 4000 kreator doujinshi, hanya 2% yang sudah menjual lebih dari 1000 doujinshi, 47% nya bahkan menjual kurang dari 30 doujinshi. Kemudian sebagian besar kreatornya adalah seorang pelajar, dan banyak dari mereka yang membuat doujinshi untuk menghilangkan stress.

Lebih lanjut, banyak profesional dalam industri manga menganggap bahwa kreator-kreator doujinshi tersebut sudah seharusnya dihormati layaknya mangaka pada umumnya, karena para profesional pun pada awalnya adalah seorang amatiran. Dan seperti yang sudah penulis kemukakan sebelumnya, doujinshi merupakan langkah awal bagi kreator baru untuk menyelami industri manga.

Indonesia sendiri juga nampaknya terpengaruh dengan subkultur doujinshi ini. Salah satunya yang mungkin cukup populer adalah konvensi Comic Frontier atau Comifuro yang diadakan beberapa kali dalam setahun di Indonesia. Sama seperti Comiket tentunya, dalam Comifuro, banyak kreator-kreator lokal yang memamerkan kebolehan artistiknya melalui berbagai fanart berupa merchandise seperti poster, gantungan kunci, dan pernak-pernik lainnya, serta doujinshi-doujinshi original yang nggak kalah menarik dengan buatan kreator-kreator Jepang.