Banyak teman-teman dari Jawa Tengah mengira semua penduduk Jawa Timur berbicara seperti orang Surabaya,” Rek, yok apa kabare. Suwe gak ketemu pancet ganteng ae kon” (= bro, gimana kabarnya. Lama gak jumpa tetap tampan aja kamu).
Demikian juga banyak orang Jawa Timur mengira seluruh Jawa Tengah kalau berbicara seperti orang Solo- Yogya, “Lho, slirane sida mundhut titihan anyar ta? Mbok sesuk lek diasta tindak kantor aku tak nunut.” (Ngoko tingkat tinggi yang digunakan pegawai kantoran. = Lho kamu jadi beli kendaraan baru? Besuk kalau dipakai pergi ke kantor saya mau membonceng). Kenyataannya adalah tidak demikian. Jawa Timur adalah tempat di mana begitu banyak varian dialek Bahasa Jawa dipakai.
-
Dialek Mataraman; biasa digunakan oleh warga eks Karesidenan Madiun (Ponorogo, Magetan, Pacitan, Ngawi, Madiun); eks Karesidenan Kediri (Nganjuk, Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Blitar) . Juga ada kantong dialek Mataraman di Banyuwangi Selatan. Ini karena banyaknya keturunan pendatang yang berasal dari Jawa Timur Barat Daya atau Jawa Tengah Tenggara. Dialek ini mendekati dialek Yogya-Solo walau tingkat kehalusannya mungkin kurang.
2. Dialek Arekan digunakan oleh warga Lamongan, Gresik, Surabaya, Mojokerto, Jombang, Malang, Pasuruan. Dialek inilah yang biasanya dirujuk sebagai dialek Jawa Timuran.
3. Daerah Pandalungan adalah daerah bercampurnya masyarakat dan budaya Jawa-Madura. Dialek Bahasa Jawa yang digunakan di daerah ini umumnya adalah dialek Arekan. Meliputi daerah Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Masyarakat di sini rata-rata bilingual ( bisa berbicara atau setidaknya memahami Bahasa Jawa dan Madura).
4. Dialek Tengger yang digunakan warga Tengger di sekitar Gunung Bromo (Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang). Dialek ini cukup unik karena masih mempertahankan fonem a seperti dialek Ngapak Banyumasan. Misalnya kata “lara” (sakit) tetap diucapkan lara bukannya “loro” pada dialek Bahasa Jawa yang lain. Selain itu dialek Tengger menggunakan beberapa kosa kata Bahasa Jawa Kuna ( picis= uang, paran = apa, reyang = saya laki2, isun (saya= perempuan) dan lain-lain) namun memiliki intonasi seperti Arekan.
5. Dialek Osing atau Basa Using.
Dulunya dialek Osing merupakan bagian dari Bahasa Jawa; namun setelah adanya usulan dari beberapa Budayawan Osing pada era otonomi daerah dialek ini diresmikan menjad Bahasa Osing. Ciri khas dialek Osing ini antara lain:
– Menggunakan diftongisasi terutama pada kata-kata diakhir kalimat, seperti :
turu jadi turau; ngendi – ngendai; kopi- kopai, sumebar-sumebyar, gambar – gambyar dan lain lain.
– Menggunakan fonem penuh seperti yang tertulis misal: pitik tetap dibaca pitiq; apik tetap dibaca apiq mirip seperti dialek Ngapak dan tidak seperti umumnya Bahasa Jawa lainnya.
– Menggunakan banyak kosa kata Jawa Kuna, misalnya: wera (luas dari kata bawera); memengan (dari kata ameng yang artinya berkunjung/ dolan); isun (aku); sira-rika-ndika (kamu sesuai level sosial); maning (lagi); ring (di), picis (=uang), hang/kang (=yang). Juga menyerap kosa kata Bahasa lain seperti dari Bali tusing/osing (tidak) bojog (monyet) dari Bahasa Madura misalnya lancing (perjaka) kari (sangat) ; dari Bahasa Melayu magih- masih, sulung-dulu. Dari Bahasa Inggris ngepos(pause= berhenti); nagud (no good =jelek) dan njuga banyak kosa kata khas Osing seperti kelendi (=bagaimana), gedigi (=begini); gedigu (=begitu); apuwa (=mengapa); endane (= masa/mosok); myakne (=biar, supaya).
Basa Using ini digunakan di beberapa kecamatan di Banyuwangi antara lain Kabat, Glagah, Srono, Rogojampi, Banyuwangi kota, Singojuruh dan beberapa kecamatan lainnya. Lagu-lagu berbahasa Osing biasanya amat digemari di seantero masyarakat Jawa Timur.
6. Dialek Aneman : berdasarkan koreksi Mas Filipus Andika, digunakan masyarakat Tuban dan Bojonegoro. Dialek ini yang sama dengan beberapa pantura Jateng seperti Pati, Rembang, Kudus, juga Blora. Ciri khas dialek ini antara lain:
– imbuhan kata ganti milik mu jadi em, nem
bapakmu – bapakem; klambimu – klambinem (bajumu)
– Akhiran “uh” jadi “oh”. Contohnya:
abuh jadi aboh
butuh jadi butoh
Akhiran “ih” jadi “èh”, contohnya:
batih jadi batèh
gurih jadi gurèh
7. Bahasa Madura digunakan disepanjang pantai mulai Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso yang penggunanya mencapai 85 – 90 % lebih.
Tentu saja pembagian wilayah seperti di atas tidak seratus persen tepat; karena beberapa wilayah seperti di Kediri misalnya di Pare dan sekitarnya dan Kertosono menggunakan dialek Arekan, sementara di Kecamatan Perak Jombang ada yang menggunakan dialek Mataraman.
Mengenai pertanyaan “ seberapa besar perbedaan dialek Jawa Tengah dan Jawa Timur” saya akan membandingkan dialek Mataraman di Tulungagung yang saya anggap mewakili langgam Jawa Tengahan dan dialek Arekan Malang yang saya anggap mewakili langgam Jawa Timuran.
a. Perbedaan pengucapan.
Pada banyak kata yang suku kata awalnya terdapat unsur huruf ‘u’ dan ‘I’ akan dibaca ‘o’ seperti pada kata soto ‘dan ‘e’ seperti kata sate di dialek Arekan namun dibaca apa adanya pada dialek Mataraman. Huruf “h’ diakhir kata sering dihilangkan di dialek Arekan.
Namun uniknya di Mataraman semua kata dasar akan dibaca apa adanya jika ada imbuhan “e’ di akhir kata
Maka selalu ada humor di antara dua kelompok dialek ini.
Ejaan Jawa baku: pitik putih sikile kuning
Mataraman Pitek puteh sikile kuneng
Arekan petek pote sekele koneng
b. Perbedaan partikel ta/a/tah/se/no
– Orang Mataraman terbiasa menggunakan partikel ta. Orang Malang menggunakan a, orang Surabaya mengguanakan tah.
Kowe ta le sing nulis? (Mataraman)
Kon a le sing nulis? (Malang)
Kon tah le sing nulis? (Surabaya)
Kamu kah nak yang menulis?
Untung orang Malang dan Surabaya menggunakan a dan tah; jika tidak bisa berakibat fatal!
– Orang Mataraman terbiasa menggunakan partikel ta. Orang Arekan menggunakan se.
Lha kowe dhewe ta sing ngrusak hp?
Lha kon dhewe se sing ngrusak hp?
Lha kamu sendiri kan yang merusak hp?
– orang Mataraman menggunakan no, Orang Arekan menggunakan se
Baksone ditambah penthol?
Iya no (Mataraman)
Iya se (Arekan)
Tentu saja.
Perbedaan partikel ini terkadang juga bisa menimbulkan salah paham. Misalnya pada percakapan di rumah makan di bawah ini:
Pemilik warung Arekan : Sampeyan sekol a nak?
Konsumen Mataraman : Nggih bu wonten UIN Malang.
(ya bu di UIN Malang)
Pemilik warung Arekan : ??? Lho maksude sampeyan ajeng nedhi sekol?
(Lho maksudnya kamu mau makan nasi?)
Konsumen Mataraman : O nggih bu.
(o iya bu)
Sampeyan sekol a nak? (Mataraman : kamu sekolah nak?—Arekan : kamu nasi nak?).
c. Perbedaan kosa kata.
Sebenarnya cukup banyak perbedaan kosa-kata antara Mataraman dan Arekan namun tidak akan mengganggu jalannya komunikasi.
Misal.
Disamping itu ada kosa kata yang sama namun memiliki makna berbeda, misalnya
Balon = PSK (Malang) Lampu (Tulungagung)
Kate nan di kon? (Malang)—mau kemana kau?
Arep golek balon (Tulungagung)—mau cari balon.
???? (Malang)
Embong = Jalan (Malang) Bantaran sungai (Tulungagung)
Roni neng ngendi (Tulungagung)—Roni di mana?
Lha ika ndik embong (Malang)—lha itu di embong
Maka dicarilah Roni di tepian sungai.
Iwak = ikan/ daging/lauk (Malang) ikan/daging (Tulungagung)
Lawuh = lauk (Tulungagung)
Pemilik warung (Malang) = Iwake apa rek? (Lauknya apa nak?)
Konsumen (Tulungagung) = Boten mawi ulam bu. (tidak pakai ikan bu). Tanggale tuwek, damel krupuk mawon. ( tanggalnya tua, pakai krupuk saja).
Pemili warung (Malang) = Lho yok apa, krupuk lak ya iwak se? ( Lho gimana, krupuk kan juga lauk).
d. Perbedaan imbuhan pada kata kerja.
Dialek Arekan menggunakan imbuhan “a/na” pada semua kata kerja, baik kalimat perintah maupun berita. Misalnya:
Bapak : Tin, gawekna wedang!
(Tin buatkan minuman)
Titin : Bapak njaluk apa se buk?
(Bapak minta apa sih bu?)
Ibuk : Bapakmu njaluk digawekna wedang.
(Ayahmu minta dibuatkan minuman)
Dialek Mataraman hanya menggunakan imbuhan “a/na’ pada kata kerja di kalimat perintah.
Bapak : Tin, gawekna wedang!
(Tin buatkan minuman)
Titin : Bapak njaluk apa ta buk?
(Bapak minta apa sih bu?)
Ibuk : Bapakmu njaluk digawekne wedang.
Mataraman eks karesidenan Kediri
Bapakmu njaluk digawekake wedang
Mataraman eks karesidenan Madiun
(Ayahmu minta dibuatkan minuman)