Kita harus kembali ke masa lalu dan ke jaman prasejarah untuk membuktikan keterkaitannya. Di dan dari masa lalu, kinerja masing-masing gender membentuk peran dan keinginan ini. Misi dari mereka semua tidak sekompleks manusia jaman sekarang. Misi mereka adalah bertahan hidup, serta menghasilkan keturunan.
Perbedaan secara biologis dan fisiologis mereka pun masih sangat kentara serta belum ada teknologi seperti jaman sekarang untuk memodifikasi tubuh sedemikian rupanya.
Di jaman dahulu kala, Pria berperan sebagai pemburu dan pengumpul, sedangkan wanita berperan sebagai pelindung dan pengorganisir. Karena apa? Karena by default, fisik mereka seperti itu. Paling simpel, dari otak dan mata. Dari jarak jangkau pandangan, serta kinerja otak sudah berbeda perannya. Pria memiliki mata yang berjarak pandang jauh, namun sempit dengan otak lebih kepada spacial problem solving.
Maksudnya apa?
Pria lebih gampang untuk kemudian membayangkan sesuatu yang bersifat dimensional di otaknya. Makanya, juarang banget pria yang gak tau arah jalan. Dia gampang banget memetakan arah, jalan, serta tujuan geografis di otaknya.
Lalu, pandangan dan otak wanita lebih bersifat ke pandangan yang jaraknya dekat namun lebar, serta ke lebih multitasking. Coba, pasti pernah ngalamin kan kita sebagai pria kehilangan kunci, barang, or else lalu pas kita tanya ibu kita, beliau langsung nemuin barang tersebut ada di dekat kita.
Dan makanya juga, jangan heran ketika liat ada wanita yang bisa telponan sambil menikur pedikur, serta nungguin mi mendidih, plus nyambi nonton drakor dan itu semua dilakukan sekaligus.
Jangan heran pula, ketika ada pria yang bisa gampang banget marah saat diganggu ketika lagi bekerja maupun berkegiatan.
Tidak memahami perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar ini, kadang bisa memicu konflik dalam suatu hubungan.
Lalu, lanjut ke topik bahasan.
Pria, memiliki jutaan bahkan lebih sel sperma yang bisa direproduksi dengan mudahnya. Siap tebar benih kapanpun, dengan siapapun, dan dimanapun lah istilahnya. Sedangkan wanita, sangatlah terbatas. Hanya dalam sekali sebulan, mereka mengalami masa ovulasi. Maka dari itu, para wanita sangatlah selektif untuk memilih siapa pria yang pantas untuk membuahi sel telur tersebut.
Dengan perbedaan yang sangat mendasar itu, pria jadi makhluk yang sangat dangkal berdasarkan biologisnya sendiri: yang penting sehat secara genetis, terus ya ayo dibuahi. Itu pulalah yang terjadi di jaman dahulu. Pria yang sehat dan mempunyai kuasa, biasanya punya anak dimana-mana. Hal yang sangat primitif ketika lelaki mencari pasangan sesuai dengan fisiknya. Karena apa? Karena kecantikan itu perlambang kebutuhan dan keinginan utama dari si pria yang mempunyai keinginan untuk mendapatkan gen yang sehat, waras, dan tumbuh kembangnya baik.
Yep, pria memang sudah dangkal dari sononya. ?
Lalu, bagaimana dengan wanita?
Karena limitasi biologisnya, mereka tak bisa dengan mudahnya membiarkan untuk dibuahi. Mereka menjadi sangat pemilih karena memang sudah darisononya harus dan wajib jual mahal. Mereka tak mementingkan aspek fisik, karena aspek keamanan saat mengandung anak, itu lebih penting daripada fisik pria yang seganteng apapun.
Sembilan bulan, wanita harus memproteksi dirinya dan ingin selamat sampai melahirkan nanti. Maka, dari jaman dulu, wanita akan memilih para pria yang memiliki status sosial dan kekuatan tinggi. Karena apa? Karena itu lambang akan keamanan dan kenyamanan. Lambang kematangan seorang pria yang bisa digantungkan dan diandalkan.
That’s why, wanita lebih mementingkan karakter dan prospek masa depan seorang pria ketimbang sekedar fisiknya.
Nah, terus, di jaman sekarang gimana?
Ternyata, banyak juga yang masih nurutin insting alamiah kok. Pria nyari yang cantik, wanita nyari yang mapan. Udah sangat umum.
Tapi, gak banyak juga yang malah berakhir toxic.
Banyak sekali kasus pria yang hanya karena pasangannya cantik, seksi, serta bohay, malah dengan gampangnya mengiyakan segala perilaku si wanitanya. Mau direndahkan, mau dimanfaatkan, serta mau dijadikan babu.
Sebaliknya juga begitu, banyak wanita yang hanya mementingkan kemapanan dari si pria, tapi malah mentolerir segala perilaku KDRT, emotional abuse, abusive relationship, dsb.
Norma masyarakat pun tak berbeda jauh. Wanita yang mengumbar tubuhnya, dianggap murahan. Pria yang mampu nidurin wanita sono-sini, dianggep superior. Miskonsepsi ini banyak terjadi karena toxical masculinity.
Padahal, jaman sudah berubah. Wanita bisa mandiri, dan pria tidak sedangkal itu lagi.
Kita hanya harus menyadari hal-hal berikut:
Sebagai pria, meniduri wanita sono sini itu hal yang gampang. Tapi, bertanggung jawab menghidupi dan membentuk keluarga dari keringat sendiri itulah yang patut diapresiasi.
Sebagai wanita, mendapatkan pria yang mapan apabila Anda sudah terlahir cantik, itu adalah hal yang tak perlu dibanggakan. Tapi, mendapatkan pasangan yang bisa memberikan keamanan emosional, perasaan secure, serta suplai pelbagai kebutuhan itulah yang perlu dikejar.
Sumber: Buku Female and Male Brain karya Louann Brizendine